Stola di Hujung Dermaga

"Stola di Hujung Dermaga"


Sunyi adalah hantu dan ketakutan. Kesendirian cuma cara satu-satunya menyelamatkan cinta dari luka. *


Seperti biasa, tiap Sabtu penghujung minggu di awal bulan, Zora mengisi acara di kawasan pantai itu. Zora namanya. Ia seorang guru seni nan rupawan. Seorang pelatih tari dan musik. Umurnya 29 dan masih gadis.


Sore itu Zora tiba di lokasi pertunjukan lebih awal. Masih jam makan siang, Zora tiba dengan mobil putihnya di samping Open Stage sebelah warung. Berbagai kelengkapan seni ia letakkan di meja samping panggung. Zora letih. Zora bersandar di kursi plastik. Ia menoleh

sekeliling, dan sesekali melirik jam tangan. Wajahnya sidikit cemas.


Pukul 12.30 WIB. Setengah jam setelah kedatangannya, seseorang bergegas merapat ke hadapan Zora menyodorkan tiga seruling bercorak Gorga Batak.


"Maaf terlambat, Bunda. Ini seruling pesanan kita dari nada E, G dan A." Ungkap Boris merasa bersalah.


"Tidak, Tak apa. Bunda juga baru sampai. Mana rekan lain? Kita akan gladi. Kamu makan duluan, atau menunggu? Maaf, tadi Bunda duluan makan." Ajak Zora sambil memainkan ponsel.


"Nanti sajalah, Bun. Lima menit mereka tiba." Jawab Boris seraya beranjak membereskan kelengkapan di panggung.

Dibantu anggota sanggar lainnya, setengah jam, seluruh perangkat telah siap di posisinya termasuk pengeras suara oleh Crew Soundman yang melanjutkan persiapan.


Tanpa diperintah, seluruh siswa menepi makan siang. Masih ada Empat sampai Lima jam sebelum pertunjukan.

Di kejauhan, dari tepian Danau Toba, Zora mengawasi anak binaannya sambil berjalan menyusuri pantai yang siang itu cukup cerah. Ponsel di telinganya sesekali berpindah tangan. Zora sedang berbicara dengan seseorang. Teman lama sepertinya. Dari alur dialognya mereka cukup dekat. Ada keceriaan yang berbeda. Warna tawa dan senda-gurau sesekali dibumbui celetuk manja. Teman bicaranya, pasti orang spesial.


Masih bicara, Zora mengode agar siswa segera berlatih. Para siswa pun merapat. Sepintas mereka senang saat memergoki sang pelatih sedang ceria. Ada yang senyum-senyum dan ada yang cuma menggodai pelatihnya.


"Hehe. Bahahahak." Senyum Zora berkali-kali pecah. Bayang sunyi yang lama bertengger di keningnya tiba-tiba sirna tak bersisa. Menguap oleh dering telepon misterius yang diterimanya sore ini.


"Benar mau datang?" Nada suara Zora meningkat cemas menunggu jawab.

"Malam ini? My God." Desaknya.


Tiba-tiba anak-anak kaget dan buru-buru menghentikan latihan oleh sumringah tawa sang pelatih yang melonjak kegirangan. Mata Bunda Zora kepergok berkaca-kaca.


"Benarkah? Di Kawasan Pasir Putih Parbaba?" Selidiknya.

"Di acara pertunjukan Sanggar Pulau Samosir ini kan?" Penasarannya menjadi-jadi.


Anggota sanggar masih terpaku. Bingung belum tau apa judul yang menerpa pelatih.


"Ada apa sesenang itu dan hampir terpeleset melonjak-lonjak, Bunda?" Beberapa penasaran dan lainnya perasaan sok mengerti urusan orang dewasa. "Pasti tentang rindu dan cinta." Gumam mereka.


"Hehe. Nggak. Kita langsung gladi ya. Malam ini kita kedatangan tamu penting. Kita tampilkan yang terbaik. Ingat, berlatih serius dan menyuguhkan penampilan terbaik itu tugas kita sebagai seniman. Kita buat mereka bersuka ria hingga kelak mengenang kita. Tamu adalah raja. Dan kita teman raja." Zora menyemangati. 


Sementara di benaknya cuma ada wajah Doli. Si pemuda yang sukses mengenalkannya arti sebuah rindu. Dia, yang pada pertunjukan malam ini berjanji datang. Bersama rombongan kehormatan. Ia lelaki yang pernah hilang. Pacar. Yang Tujuh tahun lalu terpisah tanpa kabar karena pekerjaan. Yang tak bisa jumpa walau itu di dunia maya sekalipun. **


Pukul 18.30 WIB, warna lembayung menyemarakkan pembukaan pagelaran.

Dari panggung, gema suara Master of Ceremony menyapa seluruh hadirin.

Selesai dua tembang dari seorang diva cilik, acara penyambutan pun mulai Pukul 19.00 WIB. 


Enam penari putri berbusana tradisional dipimpin sang pelatih Zora standbye di jalur masuk. Tari penyambutan sekapur sirih dengan bakul mungil berisi beras ditangan. Beraspun dihambur-hamburkan ke arah tamu. Diiringi musik Uning-uningan kemudian, penari kembali lagi dengan stola bermotif Ulos. Dengan gerak melenggak-lenggok, Zora dan keenam penari mendekat. Berjarak 10 meter, Zora tiba-tiba gugup. Dadanya berdebar. Matanya bertemu sosok wajah yang tersorot lampu panggung.


"Oh my God. Doli? Dia benar-benar datang." Zora menghitung penerima stola. "Tujuh orang." Jantungnya semakin berdegup. Salah satu penerima stola termasuk Doli disana.


"Doli?" Zora dan keenam penari mendekat mengatur posisi berhadapan. Skenario

spontanpun tercipta demi berhadapan dengan lelaki yang senja tadi berjanji datang.


Satu per satu stola keren itu terkalungkan. Saat berhadapan, senyum andalan Doli menikam hati Zora. Liuk tari Zora gelagapan saat detik-detik pengalungan Stola putih berbordir hitam-merah

tersematkan ke lingkar leher Doli.

"Oh my God. Doli. Engkau sungguh datang. Aku rindu." Bisiknya lirih dengan mata

berkaca-kaca. Rindunya tanggung. Penantian panjang itu belum tuntas. Hingga di bangku samping panggung, jabat tangan Doli masih terus terasa.

Tiba di puncak acara, MC melanjutkan acara Pukul 21.15 WIB.


"Hadirin yang terhormat, selanjutnya, dengan bangga kita berikan waktu dan tempat kepada Direktur Pemasaran Pariwisata Badan Otorita menyampaikan sepatah kata. Kepada Bapak Doli Hagai dipersilahkan. Tepuk tangan yang meriah kepada Bapak Doli Hagai." MC memicu riuh tepuk tangan menyambut sang direktur naik ke panggung.


"Puji syukur kepada Tuhan atas waktu spesial ini. Malam yang sangat istimewa.

Terimakasih kepada seluruh pihak. Tuan rumah, masyarakat dan seluruh pengunjung. Salam bangga kepada seluruh sanggar seni. Para muda kreatif yang sukses mengemas pagelaran ini.

Secara khusus kepada Sanggar Seni Embas Rege yang melakukan penyambutan. Stola putih tenunan ini telah mengobati kerinduanku. Persis di malam pagelaran ini. Terimakasih buat sang pelatih Sanggar Embas Rege nona Zora Morina atas stola indahnya. Sukses selalu para pelaku seni

wisata pulau ini. Kami mengapresiasi kegiatan ini dengan menitipkan doa dan sedikit perangsang sebentuk dana pembinaan kepada seluruh sanggar dan seniman yang berpartisipasi. Kelak, kami

akan kembali menjenguk pulau ini. Melepas rindu ke Danau Toba. Stola ini, akan melilit selalu di hati. Salut buat kalian. Salam sukses. Salam pariwisata. Horas." Sapa Doli padat dan singkat.

Sementara matanya singgah di sepasang mata sayu di samping panggung yang sedari terus mengamati.

Dianggukkannya kepala kepada perempuan manis berlilitkan busana adat Batak itu. 


Mata mereka saling menyapa. Doli turun sembari menunjuk stola di pundaknya.


"Terimakasih." Sapanya saat melintas dari hadapan Zora.


"Jangan lupa telepon." Sambung Doli memberi kode kelingking dan jari jempol di telinga.


Akhirnya bibir Zorapun tersenyum lebar. Dadanya tak lagi sesak menahan cemas. Sebab mereka akan benar-benar bertemu. Berjumpa mata. Perjumpaan yang benar-benar jumpa. Berbicara apa saja. Tak lagi terganggu tebal jarak dan sadisnya waktu yang pernah menyembunyikan mereka entah dimana.***

Parbaba. '2018


Komentar