Fenomena Dana Desa dan Momok Kemarau
TAHUN 2017 adalah kalender ketiga masa pelaksanaan kegiatan pembangunan yang dibiayai dana desa (DD) di sepenjuru nusantara.
Sebuah program baru terobosan pemerintah pusat yang tergolong cukup berani dengan sistim yang terencana sedemikian rupa melalui berbagai pertimbangan pembahasan penganggarannya.
Dana desa, yang dasar pelaksanaannya mengacu kepada poin ketiga Nawa Cita sang Presiden Jokowi telah banyak mendapat tanggapan positif dari berbagai kalangan terutama para penghuni desa. Sebagai salah satu misi upaya percepatan pembangunan wilayah Indonesia dengan mengedepankan pemerataan infrastruktur di desa-desa pinggiran agar kelak dapat mengejar ketertinggalannya, dana desa diharapkan mampu menuntaskan berbagai keluhan yang dialami masyarakat selama ini.
Dalam sepanjang proses tahapan pelaksanaannya, kisah menarik tentang program dana desa saat ini sedang gencar-gencarnya “ditonton” dan diteliti oleh berbagai kalangan berkepentingan demi sebuah fungsi evaluasi dan kontrol sosial.
Sebelumnya model pelaksanaan Dana Desa sesungguhnya sudah pernah dilaksanakan dalam bentuk program lain seperti Program Pembangunan Kecamatan (PPK), Program Nasional Pemberdayaan Masyarakat Mandiri Perdesaan (PNPM-MP) yang tujuan utamanya tak lain juga sama-sama agar wilayah pelosok mendapat pemerataan pembangunan.
Dalam hal pengelolaan keuangan dan proses pelaksanaannya PPK dan PNPM-MP itu dikelola langsung oleh setingkat Unit Pengelola dan Tim Pengelola Kegiatan memiliki sedikit perbedaan dengan dana desa yakni perihal penatausahaan dimana anggaran kegiatannya dituangkan dalam Anggaran Pendapatan dan Belanja Desa (APBDes) dan dipertanggungjawabkan secara langsung oleh Kepala Desa sebagai pengguna anggaran, sedangkan PPK dan PNPM-MP tidak.
Proses penganggaran dana desa sama persis dengan tahapan perencanaan anggaran kegiatan di APBD. Sama-sama merupakan rangkuman hasil musyawarah antar masyarakat wilayah terendah dengan pemerintah masing-masing desa yang dipandu oleh Badan Permusyawarahan Desa (BPD) demi menentukan kegiatan prioritas yang seyogianya mesti direngking berdasarkan kebutuhan utama.
Sebagaimana sistim yang dianut PPK dan PNPM-MP musyawarah desa yang selalu menetapkan mengedepankan pembiayaan kegiatan paling priorotas yaitu sesuai bobot nilai sebagaimana ditetapkan dimana peringkat kebutuhan air minum/air bersih selalu berada diurutan nilai tertinggi dan yang paling harus diperhatikan.
Suatu hal yang tak bisa dipungkiri bukankah air minum/air bersih merupakan kebutuhan termutlak yang semestinya harus dipenuhi dan disediakan sepanjang waktu? Ya. Karena di Indonesia sejak dulu, dari tahun ke tahun telah jelas hanya akan dilanda oleh dua musim, penghujan dan kemarau. Meskipun terkadang jadwal pasti antar musim telah semakin tak terprediksi lagi sebagaimana biasanya. Namun yang pasti kemarau akan selalu menjadi momok yang sangat menyeramkan bagi masyarakat yang sumber air bersih/ minumnya berasal dari kantong-kantong air tadah hujan.
Kemarau yang berbulan-bulan biasanya akan mengeringkan mata air diberbagai desa. Keluhan dan jeritan selalu datang dari masyarakat. Sebab nyata manusia sungguh tak bisa terlepas dari kebutuhan air bersih. Untuk kebutuhan di rumah tangga, minuman ternak dan pengairan lahan-lahan pertanian.
Semakin dipertegas bahwa kebutuhan terhadap air bersih masih harus tetap ditempatkan di prioritas utama. Baik melalui program yang bersumber dari APBN, APBD dan terutama melalui dana desa.
Pengalokasian dana desa jangan sampai salah kaprah. Jangan menjadi ajang pemenuhan hasrat sepihak dengan melupakan hal paling mendesak kebutuhan warga setempat.
Masyarakat Proaktif
Masyarakat diharapkan tampil lebih pro aktif menggiring proses penggunaan dana desa bahkan sejak awal perencanaan pada musyawarah di tingkat dusun agar lebih jujur dan tegas dalam mengungkapkan kebutuhan paling dasarnya.
Sebab dana desa pasti tak akan abadi. Tergantung kondisi ekonomi negara atau evaluasi terhadap program. Kelak akan ada pertimbangan lain untuk tak lagi mengucurkan dana itu ke desa-desa.
Seyogianya, kinilah saatnya masing-masing desa harus lebih memaksimalkan pengalokasian dana desa melalui pendanaan kegiatan yang paling penting dan paling bermanfaat jangka panjang bagi rakyatnya serta bisa menjadikannya menjadi salah satu sumber pendapatan asli desa yang dikelola dalam wujud Badan Usaha Milik Desa (BUMDes) demi tetap terjaganya stabilitas keuangan di pemerintahan desa kedepan. Mungkin barangkali itulah mimpi sang presiden terkait itu.
Dana desa itu hebat dan perlu disyukuri. Bukannya malah dianggap itu uang cuma-cuma atau hanya eksperimen penyelenggara desa atau ajang penambah pundi-pundi rejeki pribadi semata.
Mari setiap pihak agar semakin merasa bertanggung jawab. Mulai tim fasilitasi daerah, kecamatan dan terutama Pemerintah Desa sebagai pengguna anggaran untuk lebih menggugah hati masing-masing, menggugah hati masyarakat masing-masing untuk lebih jujur mengungkapkan apa kebutuhan paling utamanya pada setiap musyawarah perencanaan.
Semoga momok kemarau tak lagi terngiang-ngiang menakutkan di sepenjuru pelosok pada zaman kisah euforianya dana desa program presiden Jokowi.
Paska tiga tahun pengucuran dana desa, harus ditunjukkan perbedaan kondisi Pemerintahan Desa yang mana ketika dahulu Dana Pembangunan Desa (Bangdes) itu masih didanai sekitaran Rp. 5.000.000,- (Lima Juta) per tahun dibandingkan kondisi desa kini saat keputusan Pusat telah bulat memaksimalkan dana itu langsung ditransfer ke rekening desa.
Pemerintah desa yang sukses ialah sosok yang mampu menuntaskan persoalan air, makanan, pendidikan dan kesehatan warga di wilayahnya. Selebihnya, itu cuma pelengkap saja.***
Penulis aktif berkesenian tulis di Komunitas Sastra Gorga, sehari-hari bekerja sebagai ASN di Kecamatan Ronggurnihuta Pemerintah Kabupaten Samosir.
Komentar
Posting Komentar